- Perang Padri merupakan peperangan yang terjadi di Sumatera Barat tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung pada 1803-1838. Perang Padri awalnya terjadi karena adanya perbedaan prinsip mengenai agama antara kaum Padri dengan kaum Adat. Namun, lama-lama perang Padri menjadi perjuangan melawan penjajah Belanda. Karena kaum Padri dan kaum Adat bergabung jadi satu berjuang melawan Perang Padri Perang Padri terjadi karena ada pertentangan dari kaum Padri atau kelompok ulama terhadap kebiasaan-kebiasaan buruk yang terjadi di masyarakat. Kebiasaan tersebut seperti, judi, sabung ayam, minuman keras, tembakau maupun menggunaan hukum matriarkat untuk pembagian warisan. Baca juga Sejarah Perang BadarSebelum masyarakat sudah berkata akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Namun masyarakat masih tetap menjalankan kebiasaan tersebut dan membuat kaum Padri marah sehingga terjadinya peperangan. Perang Padri bisa disebut juga sebagai perang saudara. Karena dalam perang tersebut melibatkan Minang dan Mandailing. Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan, sementara kaum Adat dipimpin Sultan Arifin Muningsyah. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 2005 karya Merle Calvin Ricklefs, Gerakan pembaruan Islam tersebut dikenal sebagai gerakan Padri. Karena mereka telah menunaikan ibadah haji di Makkah.
Mahasiswa/Alumni Universitas Negeri Jakarta27 Januari 2022 0902Halo Rizqa A, kakak bantu jawab yaa Jawaban dari pertanyaan kamu adalah A, untuk lebih jelasnya simak pembahasan berikut Perlawanan rakyat Indonesia yang dilakukan untuk mengusir Belanda dari wilayahnya yang terjadi sebelum politik etis 1908 selalu mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan perlawan rakyat pada masa tersebut hanya mengandalkan satu tokoh, selain itu pada masa itu juga hanya mengandalkan penyerangan fisik yang pasti akan dimenangkan oleh Belanda yang memiliki persenjataan lengkap dan tentara terlatih, alasan lain perlawanan ini selalu gagal adalah karena bersifat kedaerahan sehingga mudah untuk ditumpas oleh Belanda. Semoga membantu
Jakarta - Perang Padri merupakan pertempuran karena perbedaan prinsip antara kaum Padri dan kaum Adat sehingga menimbulkan perang saudara selama 30 tahun di Minangkabau, khususnya di wilayah Kerajaan yang berlangsung pada tahun 1803-1838 awalnya dilatarbelakangi oleh masalah agama dan adat, sebelum penjajah Belanda ikut campur tangan dan memperkeruh perang Padri berujung bersatunya kedua kaum tersebut dan menjadi perjuangan rakyat Minangkabau melawan penjajah Belanda. Seperti apa pertikaian yang terjadi selama perang Padri? Mengapa Tuanku Imam Bonjol menjadi salah satu tokoh pada perang tersebut?Faktor Penyebab Terjadinya Perang PadriMengutip dari Modul Sejarah Indonesia Kelas XI yang disusun oleh Anik Sulistiyowati 2020, faktor penyebab terjadinya perang Padri adalah perselisihan antara kaum Padri dan kaum adat di Minangkabau yang didasari perbedaan Padri adalah kelompok yang terdiri dari ulama-ulama yang baru tiba dari Timur Tengah dan bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam di tanah penerapan syariat Islam di wilayah tersebut dinilai bermasalah sehingga kaum Padri ingin menghapus unsur adat karena bertentangan dengan ajaran yang dimiliki kaum Padri menciptakan sebuah gerakan yang disebut gerakan Wahabiah di Sumatera Barat. Beberapa kebiasaan yang bertentangan itu seperti judi, minuman keras, sabung ayam, padahal saat itu masyarakat adat disana sebagian besar memeluk ajaran Islam dengan adat masyarakat membuat kaum Padri kesal dan berujung timbulnya peperangan dengan cara keras yang disebut sebagai misi amar ma'ruf nahi Belanda Terlibat Perang PadriKaum Adat yang semakin tersudutkan oleh karena serangan dari kaum Padri ke Kerajaan Pagaruyung terpaksa meminta bantuan ke pemerintah kolonial Hindia Belanda yang kala itu masih menjajah wilayah tahun 1822, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Raff mengusir kaum Padri dari Kerajaan Pagaruyung. Raff juga mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar yang diberi nama Fort Van der Belanda terus bergerak namun dihadang laskar kaum Padri, meski akhirnya Belanda berhasil maju ke Luhak Agam. Di tahun yang sama, terjadi pertempuran Baso yang memakan banyak korban jiwa, salah satunya Kapten Goffinet dari pihak kaum Padri membuat Belanda mundur ke Batusangkar. Meski setahun setelahnya, pihak Belanda kembali menyerang namun berakhir mundur. Akhirnya Belanda mengadakan gencatan senjata sambil menyusun strategi licik yang disebut Perjanjian Padri selama masa gencatan senjata dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Ia mencoba membujuk kaum Adat untuk bersatu karena merasa lawan sebenarnya adalah pasukan Belanda. Akhirnya terjadi kesepakatan dan perdamaian yang mempersatukan kaum Padri dan kaum Adat untuk bersama melawan dari Modul Sejarah Indonesia yang disusun oleh Ersontowi 2020, Tuanku Imam Bonjol adalah seorang ulama yang memimpin perang Padri. Sosoknya diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun asli Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Syahab. Ia lahir pada 1 Januari 1772 di Bonjol, Pasamanan, Sumatera Barat. Sebagai ulama, ia memiliki beberapa gelar yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam Bonjol memimpin pasukan Padri untuk melawan Belanda. Saat gencatan senjata dan maklumat Perjanjian Masang di tahun 1824, Belanda justru melanggar perjanjian tersebut. Namun, kaum Padri sudah lebih dulu berdamai dengan kaum Adat dan bahu membahu melawan kaum yang awalnya berseteru akhirnya bersatu melalui kompromi yang disebut Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Dimana terwujud konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah adat berdasarkan agama, agama berdasarkan Kitabullah al-Qur'an.Tuanku Imam Bonjol menunjukkan rasa penyesalan atas tindakan kaum Padri ketika perseteruan terjadi dengan sesama orang Minang. Serangan dari Belanda semakin menggempur benteng Bonjol. Kedudukan Tuanku Imam Bonjol semakin sulit karena Belanda mendapat bantuan dari Batavia. Di tahun 1837, akhirnya benteng Bonjol jatuh di tangan Imam Bonjol menyerah dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat lalu dipindahkan ke dekat Manado. Ia meninggal di tempat pengasingan, namun penghargaan dari pemerintah Indonesia tetap bergulir dan mengapresiasi seluruh perjuangannya selama perang Padri. Simak Video "Sejarah Perang Padri dan Penyebabnya, Padang" [GambasVideo 20detik] pal/pal
JTahun 1811 Herman Willem Daendels ditarik ke Belanda, karena menyengsarakan rakyat dan menimbulkan perlawanan di berbagai daerah, dan diganti dengan Jansens ; J Tahun 1811 Inggris menyerang Batavia dipimpin Lord Minto dan tanggal 18 September 1811 Jansens menandatangani Kapitulasi Tuntang yang berisi penyerahan Batavia kepada Inggris
Perang paderi atau padre memiliki penyebab latar belakang terjadinya perang padri , Perang Padri merupakan perang yang begitu panjang yaitu dari tahun 1821-1837 sekitar 26 tahun lamanya berlangsungnya Perang Padri, Dalam Peperangan tersebut memiliki berbagai perjanjian-perjanjian dan perang Padri merupakan berasal dari perjuangan rakyat di daerah Sumatera Barat Minangkabau , Nama Perang Padri itu sendiri diambil dari Kota yang ada di Sumatera Barat dan berbagai bahasa-bahasa Asing sehingga terbentuk nama Perang Paderi Padri . Dalam peperangan ini memiliki tahap-tahap yang membuat Perang Padri tersebut sangat panjang, Dalam Perang Padri terkenal seorang nama yang sangat terkenal karena memiliki keberaniannya yang menegakkan kebenaran dan meluruskan ke jalan agama yang merupakan seorang tokoh yang sangat penting dalam peperangan tersebut. Untuk lebih jelas dari Perang Paderi Padri dan berbagai macam yang menyangkut Perang Padri, simak ulasannya berikut ini. Perang Paderi Padri Tahun “ 1821-1837 ” Perjuangan rakyat di daerah Sumatera Barat Minangkabau melawan pihak Belanda sering disebut dengan nama perang Padri yang telah berlangsung pada tahun 1821-1837. Adapun Asal-Usul Nama Padri Terdapat Dua Pendapat Yaitu Pedir atau Pideri yaitu sebuah kota kecil di pantai Barat Sumatera Utara tempat dimana mereka berangkat dan pulang dan naik haji. Berasal dari bahasa Portugis, Padre atau dalam bahasa Belanda Vader yang berarti “ Ayah ” atau “ Pendeta ” jadi dengan demikian kaum Padri ialah Kaum Pendeta. Perang Padri Ini Dapat Dibagi Atau Berlangsung Tiga Tahap Yaitu Kaum Padri melawan kaum adat Kaum Padri melawan kaum adat dan Belanda Kaum Padri dan kaum adat melawan Belanda Baca Juga Penjajahan Inggris di Indonesia Latar Belakang Terjadinya Perang Padri Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di daerah Minangkabau Sumatra Barat dan sekitarnya terutama di kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Istilah Padri berasal dari kata Pidari atau Padre, yang berarti ulama yang selalu berpakaian pengikut gerakan padri biasanya memakai jubah kaum adat memakai pakaian itu juga ada yang berpendapat bahwa disebut gerakan Padri karena para pemimpin gerakan ini adalah orang Padari, yaitu orang-orang yang berasal dari Pedir yang telah naik haji ke Mekah melalui pelabuhan Aceh yaitu Pedir. Adapun tujuan dari gerakan Padri adalah memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka agar sesuai dengan ajaran Islam yang murni yang berdasarkan Al-Qur’an dan ini mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi mendapat pertentangan dari kaum adat.Mawarti, Djoened PNN, 1984169. Dalam perkembangannya, di minangkabau tampak timbulnya kebiasaan-kebiasaan buruk, sedang para pembesar tidak mampu menghalangi, bahkan turut menjalankan kebiasaan-kebiasaan buruk, yaitu menyabung ayam, madat, berjudi, dan minum minuman ini semain meluas dan mempengaruhi kelompok pemudanya. Menghadapi keadaan ini kaum ulama atau padri mengadakan reaksi sehingga gerakannya dikenal dengan gerakan padri. Kaum padri ingin memperbaiki keadaan masyarakat dengan cara mengembalikan pada ajaran islam yang murni. Sejak saat itu timbul bibit-bibit pertentanga antara kaum padri dengan kaum adat. Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakatMinangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan. Harimau Nan Salapan yang terdiri dari Tuanku nan Renceh, Tuanku Lubuk aur, Tuanku Berapi, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Galung, Tuanku Biaro, dan Tuanku kapau. kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Perang saudara ini semakin meluas dan mengalami perkembangan baru setelah pihak asing mulai campur adat mengharapkan bantun dari melihat kemungkinan yang terjadi, mempertimbangkan untung dan juga menghubungi kaum padri untuk menawarkan jasa baik, tetapi tidak ada persesuaian pendapat. Tujuan raffles sebenarnya untuk mendaatkaan daerah pedalaman yang subur. Baca Juga Tujuan Tanam Paksa Namun, inggris harus segera menyerahkan daerahnya kepada belanda sebagai pelaksanaan perjanjian london 1824. Kekuatan inggris di sumatera barat diserahkan kepada hindia-belanda. Pemerintah hindia belanda mengangkat james du puy sebagai ressiden. Kaum adat kini beralih memintta bantuan kepada belanda. Pada tahun 1824, Belanda dan kaum Padri mengadakan perdamian di masang perjanjian masang yang isinya Isi Perjanjian Masang Penetapan batas daerah kedua belah pihak Kaum padri harus mengadakan perdagangan hanya dengan pihak belanda Tetapi ternyata pihak belanda tidak dapat menetapi perjanjiannya yang telah dibuatnya itu, sehingga peperangan tidak dapat dihindari lagi / berkobar lagi. Masyarakat Minangkabau dengan sangat gigihnya melawan serangan Belanda yang menggunakan senjata modern. Akhirnya kaum adat menyadari bahwa pihak Belanda sebenarnya tidak sungguh-sungguh / berhasrat untuk menolongnya melainkan hendak menjajah seluruh daerah Minangkabau Sumatera Barat , hal ini dibuktikan dengan tindakan pihak Belanda seperti tersebut dibawah ini. Tindakan-Tindakan Belanda Rakyat Minangkabau dipaksa bekerja demi kepentingan pihak Belanda tanpa diberi upah. Rakyat Minangkabau diharuskan membayar Cukai Pasar dan Cukai mengadu ayam. Setelah kaum adat menyadari kekeliruannya maka kaum adat kemudian berskutu / bergabung dengan pihak kaum padre guna melawan pihak Belanda. Dengan bersatunya kaum adat dan kaum padri maka peperangan melawan Belanda semakin menjadi hebat dan mencakup seluruh daerah Minang, Akibatnya pihak Belanda mengalami kerugian yang sangat besar. Kemudian setelah pihak Belanda berhasil menyelesaikan perang Diponegoro maka seluruh pasukannya dikirim ke Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan rakyat Sumatera Barat. Karena mendapat bantuan dari Pulau Jawa maka pihak Belanda berhasil menududuki daerah pertahanan rakyat. Minangkabau Sumatera Barat , bahkan pada tahun 1837 pusat perjuangan kaum di daerah Bonjol berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, tetapi Tuanku Imam Bonjol bersama-sama para pengikutnya berhasil meloloskan diri dari penangkapan pihak Belanda dan melanjutkan perjuangannya. Akan tetapi pada tahun itu juga Tuanku Imam Bonjol berhasil ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Cianjur kemudian ke Ambon lalu ke Minahasa dan meninggal pada tahun 1855. Dengan begitu berakhirlah perang Padri dan daerah Minangkabau Sumatera Barat jatuh ke tangan pihak Belanda. Perbedaan pendapat ini memicu peperangan antara Kaum Padri yang dipimpin oleh Harimau nan Salapan dengan Kaum Adat di bawah pimpinan Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kemudian peperangan ini meluas dengan melibatkan Belanda Harimau nan Salapan Harimau yang Delapan, merupakan sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan yang tersebar di Nagari yang ada dalam Kerajaan Pagaruyung masa itu, yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum Padri. Berikut ini nama pemimpin Harimau nan Salapan tersebut Tuanku nan Renceh atau Tuanku nan Tuo atau Tuanku Kamang Tuanku Mansiangan Tuanku Pandai Sikek Tuanku Lintau Tuanku Pasaman Tuanku Rao Tuanku Tambusai Tuanku Barumun Perang Saudara Baca Juga Penyebaran Islam Di Indonesia Perang Padri merupakan peperangan yang meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Hampir selama 20 tahun pertama perang ini 1803-1821, dapatlah dikatakan sebagai perang saudara antara sesama etnis Minang dan Mandailing atau Batak umumnya. Pada awalnya peperangan ini dilatar belakangi oleh adanya keinginan para ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalan syariat Islam sesuai dengan Mahzab Wahabi yang waktu itu berkembang di tanah Arab Arab Saudi sekarang. Kemudian pemimpin para ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Raja Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara kaum Padri dengan kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang kerajaan Pagaruyung, dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibukota kerajaan.[3] Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung di tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa istana raja Minangkabau yang sudah terbakar. Serangan ke Bonjol Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, di mana pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer yang kemudian memecah pasukannya menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban, kemudian bersama bergerak menuju Masang. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu lagi banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol. Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, dan kemudian terus menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri selama tiga hari tiga malam pertempuran berlangsung tanpa henti, sampai korban di kedua belah pihak banyak yang berjatuhan. Baca Juga Panitia Sembilan Namun dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, dan kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol. Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas, yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya. Pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah dari Bonjol dan kemudian mencoba membuat kubu pertahanan di sana. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam besar, menembaki benteng Bonjol. Namun Kaum Padri juga tidak tinggal diam, kemudian membalas dengan menembakan juga meriam-meriam dari Bukit Tajadi. Namun karena posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban. Kemudian pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang, dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu benteng Bonjol di Bukit Tajadi. Perundingan Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh tempat perundingan tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menemui ajalnya. Baca Juga Dampak Pendudukan Jepang Di Indonesia Peta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830 Alibasah Sentot Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri —yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal— di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur Iogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi. Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda. Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka open warfare, maupun metoda perang gerilya geurilia warfare yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf psy-war melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi spionase dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya. Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Baca Juga Perjanjian Linggarjati Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak serdadu berkebangsaan Eropa, pribumi, dan orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir. Perang Diponegoro dan Perang Padri Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri alim ulama dengan Kaum Adat orang adat yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi, yang belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak babak I antara 1821-1825, dan babak II. Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatera Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir 1830, kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol akhirnya menyerah. Berakhirlah Perang Padri. Proses Perlawanan Musuh kaum Padri selain kaum adat adalah Belanda. Perlawanan dimulai tahun 1821 Kaum Adat yang mulai terdesak dengan serangan Kaum Padri, meminta bantuan kepada Belanda. Kaum Padri memulai serbuan ke berbagai pos Belanda dan pencegatan terhadap patrol Belanda. Pasukan Padri bersenjatakan senjata tradisional, sedangkan musuhnya menggunakan meriam dan jenis senjata lainnya yang sudah dibilang cukup modern. Pertempuran banyak menimbulkan korban kedua belah pihak. Pasukan Belanda mendirikan benteng pertahanan di Batu sangkar diberi nama Fort Van Der Capellen. Peperangan ini ditandai dengan tiga pertama berlangsung antara 1821-1825, ditandai dengan meluasnya perlawan rakyat keseluruh daerah kedua adalah antara tahun 1825-1830, ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjiaan dengan gerakan kaum pradi yang mulai melemah. Masa ketiga antara tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran, kemudian diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin padri. Dalam pertempuran yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman dan pasukan Belanda berupa 200 orang serdadu dengan meriam 6 pon dan meriam 8000 hingga pasukan dari Tuanku Pasaman gugur kurang lebih 350 orang salah satunya anaknya mereka mundur menuju Lintau yang menerobos jebakan dari Belanda untuk memutus jalan. Pada tanggal 10 juni 1822 raaff mengirim surat damai. Tetapi Tuanku Pasaman tidak menjawab dan diserbulah pasukan Padri disekitar Tanjung tempat Tuanku Ranceh melakukan penyerangan di Baso pada 14 agustus 1822 terhadap September 1822 Padri mengadakan operasi di Guguk Sugandang dan Tanjung Alam, dan membakar kampung penduduk yang memihak Adat, pasukan Padri berjumlah orang. Baca Juga Manusia Purba Di Indonesia Di Bonio pertahana Padri cukup kuat, pemimpin Belanda Letnan P. H. Marinus memindah meriam-meriam ke bukit, begitu juga pasukan kapten Brusse dengan seribu penduduk setempa. Dalam pertempuran ini Marinus meninggal dan Padri mundur di dalam hutan-hutan sekitar. Pertempuran Padri dilanjut di kapau, pasukan ini pada tanggal 18 september 1823 mencoba mengepung Belanda denga 100 orang dan belanda menyingkir ke Kota Tua. 24 september 1823 di Agam Padri menyerang Belanda dengan jumlah 170 orang dari Belanda, dan berhasil membunuh 19 serdadu tetapi kalahnya persenjataan mendesak Padri yang dijaga 360 orang. Kolonel Sturs yang diangkat menjadi penguasa sipil dan militer sumatera barat mulai 2 november 1824, pada tanggal 29 oktober 1825 padri diwakili oleh tuanku keramat mengadakan kontrak perjanjian perdamaian yang baru ditanda tangani di Pedang pada tanggal 15 november 1825 yang isinya kedua belah pihak melindungi pedagang dan orang-orang dari pengungsian diujung karang. Perdamaian antara belanda dan kaum padri ini mengecewakan para pengikut kaum adat. September 1826 serdadu Belanda di minangkabau sebanyak 500 orang serta 17 opsir ke jawa sehingga kekuatan militer belanda di minangkabau tinggal 677 orang. Dengan ini, belanda harus menjaga 17 pos yang letaknya tersebar di ini dimanfaatkan oleh padri untuk melawan, saat belanda melakukan pemaksaan penduduk kampung malik melakukan penentangan. Kaum padri mengambil kesempatan untuk menyerang belanda, ketua adat dari daerah XII dapat mempengaruhi penduduk kota XX untuk melakukan penyerangan ke belanda juga dengan tidak membayar cukai dan pajak pasar. Tahun 1829 daerah kekuasaan kaum Padri telah meluas sampai ke Batak Mandailing, Tapanuli. Di Natal. Tapanuli Baginda Marah Husein minta bantuan kepada Kaum Padri mengusir Gubernur Belanda di sana. Maka setelah selesai perang Diponegoro, Natal di bawah pimpinan Tuanku Nan Cerdik dapat mempertahankan serangan Belanda di sana. Kelemahan belanda diberbagai daerah pertempuran membawa akibat semakin meluasnya perlawanan kaum padri. Di samping itu, terlihat pasukan kaum adat yang kecewa mulai melakukan perlawanan terhadap belanda. Kira-kira 70 orang penghulu adat dengan bantuan penduduk XIII kota yang bersikap anti-belanda telah menyerbu padang, tetapi kemudian memundurkan diri stelah kurang lebih 100 orang serdadu belanda melawannya. Sementara itu, kaum padri yang bergerak disebelah barat pasaman berhasil menduduki air bangis. Tahun 1829 De Stuers digantikan oleh Letnan Kolonel Elout, yang datang di Padang Maret 1831. Dengan bantuan Mayor Michiels, Natal dapat direbut, sehingga Tuanku Nan Cerdik ke Bonjol. Banyak kampung yang dapat direbut Belanda. Tahun 1832 datang bantuan dari Jawa, di bawah Sentot cepat Lintau, Bukit, Komang, Bonjol, dan hampir seluruh daerah Agam dapat dikuasai oleh Belanda. Sementara itu, pertemuan yang terjadi pada 10 september 1833 antara mantua dan agam membawa kekalahan pada pihak padri, meskipun mereka dapat menewaskan beberapa serdadu belanda. Beberapa distrik dan seluruh daerah VIII kota jatuh ke tangan belanda. Penyerangan-penyerangan padri pada pos-pos dan benteng-benteng belanda masih terus dilakukan, seperti penyerangan benteng belanda di amerongen oleh tuanku tambusai pada pertengahan januari 1833. Akhir Perlawanan Kesulitan yang diderita kaum padri di bojol berawal dengan di tutupnya jalan-jalan penghubung dengan daerah lain oleh pasukan belanda. Pada tanggal 11-16 juni 1835, sayap kanan pasukan belanda telah berhasil menutup jalan yang menghubungkan benteng bonjol dengnan daerah sebelah barat. Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda, serangan ditujukan langsung ke benteng situasi yang gawat ini, Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk mengharapkan, bahwa perdamaian ini disertai dengan penyerahan. Tetapi Imam Bonjol berpendirian lain. Perundingan perdamaian ini adalah siasat mengulur waktu, agar dapat mengatur pertahanan lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan pertahanan dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui kekuatan musuh di luar perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837. Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol,yang didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol tidak banyak menolong, karena musuh berada dalam jarak satu lawan satu tidak dapat dihindarkan berjatuhan dari kedua belah Padri terdesak dan benteng Bonjol dapat dimasuki oleh pasukan Belanda menyebabkan Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah pada tanggal 25 Oktober 1937. Tuanku imam bonjol kemudian dibuang ke cianjur, jawa barat. Tada tanggal 19 januari 1839 beliau dibuang ke ambon, lalu pada tahun 1841 dipindahkan ke manado, dan meninggal disana pada tanggal 6 november 1864. Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak berarti perlawanan kaum Padri telah dapat masih terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusai pada tahun 1838. Setelah itu berakhirlah perang Padri dan daerah Minangkabau dikuasai oleh Belanda. Demikianlah pembahasan mengenai Penjelasan Terjadinya Perang Paderi Padri 1821-1837 semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan anda semua, terima kasih banyak atas kunjungannya. 🙂 🙂 🙂
- Икև тιзեслιсሳл
- Итвሉзат иቁ ቸрጡκ τ
- Дը ноφոд
- ዚтеւիт кէ
- ጇπе εжጁтрու
- Υц υ слорс еናудዓ
Perlawananrakyat di berbagai daerah seperti perang Padri perang Diponegoro perang Banjar dan sebagainya pada masa penjajahan gagal mengusir mengusir penjajah dari Indonesia berikut berikut yang merupakan penyebab kegagalan perjuangan pada masa tersebut yaitu smaniss318 menunggu jawabanmu. Bantu jawab dan dapatkan poin.
Perang Padri merupakan salah satu bentuk perlawanan rakyat pada masa pendudukan Belanda. Namun, tahukah kamu kalau awal mula permasalahannya berasal dari peperangan antar saudara? Kalau penasaran ingin mengetahui ulasannya lebih lanjut, mending langsung cek saja artikel sejarah Perang Padri berikut masa pendudukan Belanda, terjadi perlawanan rakyat di berbagai daerah. Penyebabnya tak lain dan tak bukan karena kehidupan rakyat yang semakin menderita. Salah satu perlawanan dalam sejarah pendudukan Belanda berasal dari Sumatra Barat yang kemudian dikenal dengan Perang perang tersebut sudah terjadi mulai tahun 1803. Pada mulanya merupakan pertempuran sesama saudara. Akan tetapi, Belanda masuk dan membuat permusuhan itu semakin kemudian, kedua belah pihak yang bertempur itu menjadi satu dan berbalik melawan Belanda. Kira-kira seperti apa kronologinya? Daripada kebanyakan basa-basi, kamu bisa langsung saja membaca sejarah lengkap Perang Padri di bawah ini, ya!Sejarah Latar Belakang Terjadinya Perang Padri Kaum AdatSumber Wikimedia Commons Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sejarah perang antara rakyat Sumatra Barat melawan Belanda, tidak ada salahnya untuk menyimak latar belakang terjadinya peristiwa tersebut. Salah satu peperangan terlama di Indonesia tersebut bermula dari perseteruan antara kaum Padri dan kaum Adat. Terbentuknya Kaum Padri dan Kaum Adat Latar belakang sejarah bermulanya Perang Padri bermula dari berkembangnya paham Wahabi yang dipelajari oleh pemuka agama atau kaum terpelajar. Baik itu pada saat menunaikan ibadah haji atau memang berniat untuk belajar agama di Arab Saudi. Sepulangnya dari sana, orang-orang tersebut mengalami banyak perubahan. Tidak hanya cara berpakaian yang mengenakan jubah seperti orang Arab saja. Akan tetapi, perubahan terlihat jelas dalam perilaku mereka sehari-hari. Nah, jubah yang dikenakan tersebut kemudian digunakan sebagai identitas yang membedakan pemuka agama dengan rakyat biasa maupun orang-orang Belanda. Dengan kata lain, jubah tersebut merupakan penanda bagi orang yang memiliki tingkatan ilmu agama Islam yang tinggi. Sekitar tahun 1800-an, agama Islam mengalami perkembangan yang bisa dibilang sangat pesat. Hal tersebut kemudian memunculkan dua kubu di masyarakat yang sangat kuat, yaitu kaum Padri dan kaum Adat. Kaum Padri adalah golongan pemuka agama. Mengenai asal-usulnya namanya, padri berasal dari bahasa Spanyol, yaitu “padree” yang berarti pemuka agama. Golongan ini mengemban tujuan mulia untuk menyebarkan agama Islam di Minangkabau, Sumatra Barat. Sementara itu, kubu yang satunya adalah kaum Adat. Sesuai dengan namanya, anggota dari kaum ini adalah mereka yang masih memegang tegus adat istiadat dan tradisi leluhur. Meskipun begitu, sebagian besar dari mereka sudah masuk Islam. Baca juga Mengenal Lebih Dekat dengan Sosok Sultan Suriansyah, Pendiri dari Kerajaan Banjar Munculnya Permusuhan Antara Kaum Padri dan Kaum Adat Sumber Wikimedia Commons Benih-benih perang mulai tumbuh ketika kaum Padri berusaha untuk memurnikan sejarah tradisi atau adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pada waktu itu, tradisi-tradisi yang masih dilakukan oleh kaum Adat memang bertentangan dengan ajaran agama. Contohnya adalah melakukan sabung ayam, suka minum-minuman keras, atau memakai madat. Selain itu, yang membuat kaum Padri miris adalah ibadah wajib tidak dilaksanakan dengan benar oleh kaum Adat. Maka dari itu, para pemuka tersebut ingin mencoba memperbaiki hal tersebut dengan membawa kaum Adat ke arah yang menurut mereka lebih benar. Perdebatan sengit yang lainnya terjadi karena penentuan pembagian waris. Jika menurut budaya Minangkabau yang sudah berlangsung turun temurun, seharusnya pembagian tersebut diambil dari garis keturunan perempuan atau matrilineal. Sementara itu, di agama Islam peraturannya adalah diambil dari garis keturunan laki-laki atau patrilineal. Bahkan, Syekh Ahmad Khatib pun mengutuk budaya matrilineal tersebut. Pada tahun 1803, ada tiga orang haji yang pulang ke Minang. Mereka adalah Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Konon, ketiga haji tersebut dulunya pernah menjadi tentara Turki saat terlibat peperangan dengan Kerajaan Prancis. Setelah itu, mereka menemui ulama-ulama yang lain dengan rencana untuk memurnikan rakyat dari adat-adat yang menyimpang dari ajaran agama Islam. Dari pertemuan tersebut, lahirlah Harimau Nan Salapan. Untuk yang belum tahu, Harimau nan Salapan adalah ulama-ulama yang ditunjuk untuk menjadi dewan untuk membersihkan umat dari adat-adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Anggotanya ada delapan orang, yaitu Tuanku Mansingan, Tuanku nan Renceh, Tuanku Barapi, Tuanku Kapau, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Ladang Lawas, Tuanku Galung, dan Tuanku Padang Luar. Baca juga Peninggalan-Peninggalan Sejarah Era Kerajaan Ternate yang Masih Ada Hingga Sekarang Masalah Semakin Memanas Setelah dewan ulama terbentuk, mereka memulai agendanya untuk “memurnikan” rakyat Minangkabau. Salah satu caranya adalah dengan mengirim seorang ulama bernama Tuanku Lintau supaya membujuk pemimpin kaum Adat untuk sepenuhnya menjalankan syariat Islam. Sang pemimpin, yaitu Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah, tentu saja tidak terlalu menyukai ide tersebut. Karena sesuai dengan prinsip yang dipegangnya, kalau adat istiadat itu harus dipegang teguh. Perseteruan semakin memanas ketika Haji Miskin yang merupakan salah seorang anggota kaum Padri mulai melarang warga untuk melakukan sabung ayam. Ia pun tidak segan-segan untuk membakar arena sabung ayam. Hal tersebut tentu saja membuat kaum Adat marah. Mereka kemudian mengejar dan berusaha menangkap Haji Miskin yang pada saat itu kabur meminta perlindungan kepada Harimau nan Salapan. Pada awalnya, Harimau nan Salapan tersebut melakukan diskusi dengan ulama lain yang bernama Tuanku nan Tuo. Menurutnya, lebih baik memurnikan ajaran Islam dengan menggunakan cara-cara yang halus. Karena kalau menggunakan cara kasar, nantinya malah terjadi peperangan yang tidak akan pernah habis. Namun entah mengapa, pada akhirnya yang disetujui bersama adalah yang menggunakan jalan kekerasan. Maka dari itu, peperangan antar kedua kubu tidak dapat dihindarkan. Baca juga Ulasan Lengkap Mengenai Silsilah Raja-Raja yang Pernah Memimpin Kerajaan Kediri Meletusnya Perang Padri Ilustrasi PerangSumber Wikimedia Commons Menurut catatan sejarah, penyebab meletusnya perang Padri adalah setelah kaum Padri menyerukan jihad untuk melawan kaum Adat. Dengan menggunakan jalur kekerasan, mereka tidak segan-segan untuk membunuh para tetua dan juga membakar rumah-rumah adat. Namun setelah semua itu dilakukan, kaum Adat bergeming. Mereka tetap pada pendirian untuk memegang teguh adat leluhur. Hingga pada tahun 1815, kaum Padri kehilangan kesabaran dan kemudin menyerang Kerajaan Paguruyung. Penyerangan tersebut dipimpin oleh Tuanku Pasaman. Pertempuran hebat pun pecah di Koto Tengah. Kedua kubu tersebut saling serang sehingga banyak sekali korban jiwa berjatuhan. Tak hanya dari rakyat biasa, tetapi juga anggota kerajaan. Karena situasi kerajaan yang sangat kacau, Sultan Arifin Muningsyah kemudian lari untuk menyelamatkan diri. Pasalnya, Istana Paguruyung habis terbakar akibat pertempuran itu dan hanya tersisa puing-puingnya. Mengenai gambaran kondisi tempat tersebut pernah tertulis dalam catatan milik Raffles yang berkunjung ke sana sekitar tahun 1818. Awal Mula Campur Tangan Belanda Kaum Padri tidak kenal lelah untuk melancarkan serangan. Hal tersebut tentu saja membuat kaum Adat menjadi terdesak. Terlebih lagi, Sultan Arifin Muningsyah tidak diketahui keberadaannya. Maka dari itu, dengan diwakili oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar, kaum Adat meminta tolong kepada Belanda. Setelah mencapai kesepakatan yang diinginkan, kedua belah pihak secara resmi menandatangani perjanjian itu pada tanggal 21 Februari 1821. Hal tersebut juga berarti bahwa Kerajaan Pagaruyung menjadi milik pemerintah Hinda Belanda. Selanjutnya, Sultan Tangkal Alam diangkat sebagai Regent Tanah Datar. Tak berapa lama kemudian, Belanda mengirimkan pasukannya untuk memukul mundur armada Kaum Padri. Mereka tidak mengirimkan pasukan sampai ke perbukitan hingga pelosok Minang. Pada bulan April 1821, kaum Adat yang berkoalisi dengan Belanda kemudian menyerang wilayah Sulit Air dan Simawang. Penyerangan itu dipimpin oleh Kapten Goffinet dan Kapten Dienema. Pada akhir tahun, dikirimkan lagi pasukan pimpinan Letkol Raff untuk memperkuat pertahanan. Baca juga Bukti Peninggalan-Peninggalan Sejarah dari Kerajaan Gowa-Tallo, Serambi Mekah di Indonesia Timur Peperangan Belanda dan RakyatSumber Wikimedia Commons Gabungan pasukan Belanda dan kaum Adat tersebut baru bisa mengusir pasukan kaum Padri keluar dari Pagaruyung pada tanggal 4 Maret 1822. Kaum ulama itu kemudian menyingkir ke daerah Lintau untuk menyusun rencana pembalasan. Sementara untuk menancapkan kekuasaan, Belanda kemudian membangun Benteng Van De Capellen. Setelah itu, mereka terus melakukan usahanya penyerangan terhadap kaum Padri. Pada awalnya, pasukan Belanda tersebut berhasil membuat kaum ulama kewalahan. Namun, kekuatan mereka melemah ketika Kapten Goffinet meninggal dunia pada bulan September 1822. Hal itu membuat pasukannya harus mundur karena tidak sanggup menghadapi pasukan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh. Selanjutnya pada bulan April 1823, Letnan Kolonel Raaff mengerahkan pasukan untuk menyerang Lintau. Peperangan ini berlangsung begitu sengit karena kaum begitu gigih menghalau serangan lawan. Karena tidak membuahkan hasil, pasukan Belanda pun kembali ke Batusangkar. Alasan lainnya adalah karena sang pemimpin meninggal dunia. Di tengah kekisruhan tersebut, sekitar tahun 1824 Sultan Arifin tiba-tiba kembali ke Pagaruyung. Namun, kedatangannya tidak terlalu berpengaruh banyak. Hal tersebut dikarenakan setahun kemudian ia meninggal dunia. Pasukan Belanda masih belum mau menyerah dan kemudian melakukan penyerangan yang dipimpin oleh Mayor Frans Laemlin. Pada bulan September 1824, pasukannya berhasil merebut daera Koto Tuo, Ampang Gadang, Kapau, dan juga Biaro. Sayangnya, sang pemimpin pasukan meninggal dunia di akhir tahun 1824 karena luka parah. Baca juga Ulasan tentang Raden Patah, Sang Pendiri Kerajaan Demak yang Masih Keturunan Ningrat Melakukan Gencatan Senjata Melakukan pertempuran dengan Kaum Padri rupanya membuat Belanda merasa kesulitan. Mereka tidak hanya mengerahkan tenaga saja, tetapi juga menghabiskan dana. Belum lagi, mereka juga harus menghadapi perlawanan di wilayah lain. Karena pertimbangan dana yang sudah semakin menipis, akhirnya Belanda berinisiatif untuk melakukan gencatan senjata dengan Kaum Padri. Untuk yang belum tahu, gencatan senjata adalah kesepakatan bersama antar pihak yang berkonflik untuk menghentikan peperangan. Durasinya bisa saja sementara, tetapi juga bisa dalam waktu yang lebih lama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengutus residennya yang berada di Padang untuk membuat perjanjian gencatan senjata dengan kaum Padri. Pada waktu itu, kaum golongan ulama berada di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Pada tanggal 15 November 1825, kesepakatan antar kedua belah pihak itu resmi ditandatangani. Yang kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Masang. Untuk sementara, situasi di Sumatra Barat menjadi lebih terkendali. Akan tetapi, perdamaian tersebut rupanya tidak dapat diterima oleh kaum Adat. Untuk melampiaskan kekecewaaan, mereka kemudian berbalik memusuhi Belanda. Situasi ini kemudian membuat kedudukan Belanda menjadi serba sulit. Pasukan mereka tidak mendapatkan dukungan penuh dari kaum Adat, sementara itu juga tidak dapat menaklukkan Kaum Padri. Tuanku Imam Bonjol Mengajak Kaum Adat untuk Berdamai Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Ia diangkat menjadi pemimpin kaum Padri setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia. Meskipun merupakan anggota ulama, laki-laki tersebut sebenarnya tidak terlalu menyetujui tindakan golongannya yang menyerang kaum Adat. Karena bagaimana pun, mereka masih satu saudara. Makanya ketika menjadi pemimpin dan ada celah untuk berdamai dengan kaum Adat, ia menggunakan kesempatan tersebut dengan sebaik mungkin. Terlebih lagi, situasi Belanda memang sedang lemah. Dirinya ingin menyadarkan bahwa yang menjadi musuh sesungguhnya adalah Belanda. Tuanku Iman Bonjol pun mengundang perwakilan kaum adat ke Bukit Marapalam yang terletak di Kabupaten Tanah Datar. Pada awalnya perundingan kedua kubu memang tidak berjalan terlalu baik. Namun akhirnya, kesepakatan bersama yang diimpikan terjadi juga. Kesepakatan itu diberi nama Plakat Puncak Pato. Isinya adalah untuk mewujudkan adat Minangkabau yang berlandaskan agama Islam, dan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an. Baca juga Peninggalan-Peninggalan Sejarah yang Membuktikan Keberadaan Kerajaan Banten Sejarah Perang Padri Jilid II Pasukan BelandaSumber Wikimedia Commons Gencatan senjata dalam sejarah Perang Padri yang pertama tidaklah berlangsung lama. Setelah berhasil bangkit dari keterpurukan ekonomi, Belanda pun mengingkari perjanjian yang dibuat. Salah satu alasannya adalah karena mereka ingin menguasai daerah perkebunan kopi di Minangkabau. Kopi merupakan salah satu komoditi andalan milik Belanda. Maka dari itu, mereka ingin menaklukkan kaum Padri supaya lebih leluasa dalam menguasai perkebunan. Sebagai langkah awal, pasukan Belanda kemudian menyerang nagari Pandai Sikek. Selanjutnya, mereka mendirikan sebuah benteng bernama Fort de Kock di Bukittinggi. Dari situ, Belanda terus bergerak untuk menaklukkan daerah-darah basis milik kaum Padri. Tidak hanya daerah Lintau, tetapi juga Luhak Tanah Datar berhasil dikuasai. Hal ini kemudian membuat pihak lawan menjadi kalang kabut. Terlebih lagi, Belanda mendapatkan pasukan tambahan dari Jakarta supaya operasi penaklukkan tersebut bisa berjalan lebih cepat. Setelah bulan Oktober 1832, banyak sekali daerah-daerah yang sudah ditaklukkan oleh Belanda. Kaum Padri terdesak dari mana-nama dan kemudian bertahan di wilayah Bonjol. Pada awal tahun 1833, kubu kaum ulama sempat melakukan balas dendam dengan menyerang benteng pertahanan Belanda. Penyerangan yang dipimpin oleh Tuanku Rao tersebut berhasil melumpuhkan pasukan Belanda. Sayang sekali, kemenangan itu tidak bertahan lama. Karena kalah persenjataan, pasukannya harus terpaksa mundur. Terlebih lagi, sang pemimpin terluka parah karena ditembaki tanpa ampun oleh Belanda. Akhir hidup Tuanku Rao bisa dibilang sangat mengenaskan. Dalam keadaan sekarat, ia ditangkap oleh Belanda untuk diasingkan. Ketika dalam perjalanan ke tempat pembuangan, ia meninggal dunia dan jasadnya di buang ke laut. Serentak Melawan Belanda Peristiwa di atas kemudian semakin menumbuhkan semangat persatuan rakyat untuk mengusir Belanda dari Minangkabau. Seperti yang telah kamu tahu, kaum Padri dan Adat telah setuju untuk menggabungkan kekuatan. Keadaan menjadi semakin memanas setelah banyak benteng pertahanan Belanda diserang. Korban tewas dari kedua belah pihak tentu saja tidak terhindarkan. Di tengah kekacauan tersebut, Belanda menangkap Sultan Tangkal Alam karena dianggap berkhianat. Ia ditengarai ikut menyerang benteng pertahanan milik mereka. Meski sempat menyangkal, ia tetap saja dicopot dari jabatan sebagai Regent Tanah Datar lalu dibuang ke Batavia. Namun dari peristiwa tersebut, pihak Belanda kemudian menyadari kalau kedua kaum yang berseteru itu telah bekerja sama. Untuk sedikit meredam situasi, pemerintah Belanda kemudian mengeluarkan sebuah pengumuman, yaitu Plakat Panjang. Isinya adalah Belanda datang ke sana hanya untuk berdagang, bukan untuk menguasai. Selain itu, mereka akan membangunkan jalan dan sekolah. Tentu saja itu hanya pemanis belaka karena mereka mengharapkan rakyat untuk menanam kopi dan harus menjualnya kepada Belanda. Baca juga Informasi tentang Prasasti Bersejarah Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang Perlu Kamu Ketahui Usaha Penyerangan Benteng Bonjol Wilayah Benteng BonjolSumber Wikimedia Commons Pada tanggal 23 Agustus 1833, Van den Bosch datang ke Padang. Ia menanyakan mengapa penaklukkan di daerah tersebut berjalan begitu lambat. Setelah itu, para petinggi Belanda di Hindia Belanda melakukan pertemuan. Hasilnya adalah sebelum tanggal 16 September 1833, mereka harus sudah menjatuhkan markas utama milik kaum Padri, yaitu Benteng Bonjol. Sementara itu, kaum Padri dan Adat mengetahui mengenai rencana serangan Belanda. Mereka kemudian mengatur siasat perang. Dalam perang Padri kali ini, mereka akan menggunakan taktik serangan gerilya. Ketika waktunya tiba, strategi gerilya tersebut ternyata cukup ampuh untuk menghalau serangan pasukan Belanda. Mereka bahkan bisa merampas persenjataan milik pasukan lawan. Penyerangan kali ini dianggap sebuah kegagalan. Pada tahun 1834, Belanda kemudian fokus untuk membangun infrastruktur jalan menuju Benteng Bonjol. Selain untuk memperlancar mobilitas, gunanya adalah supaya lebih mudah mematahkan strategi gerilya milik lawan. Setelah selesai, pasukan Belanda mulai bergerak untuk menyerang Benteng Bonjol dengan dipimpin oleh Letnan Kolone Bauer. Pertempuran pun pecah di daerah Sipisang yang merupakan daerah basis kaum Padri. Pertarungan yang terjadi selama tiga hari tiga malam tersebut akhirnya dimenangkan oleh Belanda. Pasukan Padri terdesak dan kemudian bersembunyi ke hutan. Daerah itu pun dikuasai dan dijadikan basecamp Belanda untuk sementara. Selanjutnya, Belanda semakin bergerak mendekati Benteng Bonjol. Setelah semakin dekat, mereka kemudian menembaki benteng menggunakan meriam. Baca juga Kisah Lengkap tentang Sultan Maulana Hasanuddin, Sang Pendiri Kerajaan Banten Benteng Bonjol Berhasil Dikepung Pasukan Belanda berhasil mengepung wilayah sekitar Benteng Bonjol yang terletak di atas sebuah bukit bernama Tajadi. Meskipun terkepung, tentu saja kaum Padri tidak menyerah begitu saja. Lagipula, benteng tersebut sudah ditata sedemikian rupa sehingga tidak mudah diambil alih. Untuk semakin menekan pihak lawan, Belanda kemudian memblokade semua akses yang menuju ke benteng tersebut. Pada awalnya, mereka bertujuan untuk menghentikan pasokan senjata dan makanan. Namun, hal tersebut malah menjadi boomerang. Pasalnya, kaum Padri akhirnya secara diam-diam mengambil perbekalan milik Belanda. Selain itu, kaum ulama tersebut tetap mendapatkan bala bantuan dari simpatisannya yang berada di luar wilayah benteng. Pertarungan yang sengit antara kedua kubu terus terjadi. Pada bulan Agustus 1935, pihak Belanda menyerang benteng setelah mendapatkan bantuan dari Bugis. Selanjutnya, serangan itu dibalas oleh kaum Padri dengan menyerang markas pertahanan Belanda sebulan kemudian. Kedudukan mereka masih sama-sama kuat sehingga keadaan bertahan seperti itu selama beberapa waktu. Akan tetapi, keadaan itu pula yang pada akhirnya membangkitkan semangat juang dan keberanian rakyat di sekitar benteng untuk menyerang Belanda. Tidak main-main, mereka bahkan berhasil membuang bangsa penjajah itu menjadi kewalahan. Baca juga Peninggalan-Peninggalan Bersejarah Milik Kerajaan Aceh Darussalam yang Masih Ada Hingga Sekarang Akhir dari Kisah Sejarah Perang Padri Kemenangan BelandaSumber Wikimedia Commons Perang Padri merupakan salah satu perang yang paling lama dalam sejarah. Bahkan semenjak penyerangan Benteng Bonjol pertama, Belanda baru benar-benar bisa menaklukkan setahun kemudian. Kegigihan kaum Padri yang didukung oleh rakyat untuk mempertahkan benteng tersebut memang sangatlah luar biasa. Namun sepertinya memang perjuangan pada waktu itu memang sudah harus menemui titik akhirnya. Pada tanggal 3 desember 1836, pasukan Belanda akhirnya mengadakan serangan besar-besaran. Mereka menyerang benteng dari segala penjuru. Kali ini, penjajah tersebut berhasil menjebol pertahanan sehingga dapat masuk ke dalam benteng. Pertumpahan darah tidak dapat dihindarkan. Banyak sekali korban jiwa yang jatuh dari kedua kubu. Meskipun begitu, masih belum dapat melumpuhkan kekuatan kaum Padri. Hingga kemudian, pada bulan Maret tahun 1837, Belanda berusaha lagi untuk melumpuhkan kekuatan lawan dengan membawa lebih banyak pasukan. Lebih dari tentara didatangkan dari berbagai daerah untuk menyerang benteng Bonjol. Selama kurang lebih enam bulan, pasukan tersebut terus menerus melakukan serangan. Hingga akhirnya, mereka berhasil mengambil alih Benteng Bonjol pada tanggal 16 Agustus 1837. Penangkapan Tuanku Imam Bonjol Ketika Benteng Bonjol dapat ditaklukkan oleh Belanda, Tuanku Imam Bonjol beserta para pengikutnya berhasil melarikan diri. Selama dalam pelarian itu, ia berusaha untuk mengatur siasat meskipun pasukannya tercerai berai dan tinggal sedikit. Sayangnya, masa pelarian itu tidaklah lama. Dengan menggunakan tipu daya, pemimpin kaum Padri tersebut dapat ditangkap oleh Belanda pada tanggal 28 Oktober 1837. Ia kemudian diasingkan ke Cianjur. Setelah itu dibuang lagi ke Ambon pada akhir tahun 1838. Tak berhenti di situ, Tuanku Imam Bonjol kemudian dipindahkan lagi ke Lotta, Minahasa. Selama kurun waktu 27 tahun, ia menjalani masa pengasingan di tempat tersebut. Ia meninggal dunia di sana pada tanggal 8 November 1864. Dalam catatan sejarah, penangkapan Tuanku Imam Bonjol bukanlah akhir dari Perang Padri. Peperangan melawan Belanda masih tetap dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai. Namun, pasukannya tidak bertahan lama. Akhirnya di penghujung tahun 1838, wilayah Kerajaan Paguruyung resmi jatuh ke tangan Pemerintah Belanda. Hal ini kemudian menandakan berakhirnya perang yang sudah terjadi selama puluhan tahun itu. Baca juga Informasi Lengkap tentang Ken Arok, Sang Pendiri Kerajaan Singasari yang Punya Masa Lalu Kelam Ulasan Lengkap tentang Sejarah Perang Padri Demikianlah informasi lengkap mengenai sejarah Perang Padri yang dapat kamu simak di sini. Cukup panjang memang, tapi semoga saja dapat menambah wawasanmu setelah membacanya, ya! Nah, di PosKata kamu nggak hanya bisa mendapatkan ulasan mengenai masa-masa penjajahan di Indonesia saja, lho. Kalau ingin membaca tentang sejarah kerajaan-kerajaan ada di nusantara juga bisa. Tidak hanya kerajaan bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Aceh Darussalam, dan Mataram Islam saja, kok. Akan tetapi, ada juga tentang kerajaan Hindu-Buddha seperti Sriwijaya, Tarumanegara, Singasari, dan masih banyak lagi. Jadi, tunggu apalagi? Cek terus PosKata, ya! PenulisErrisha RestyErrisha Resty, lebih suka dipanggil pakai nama depan daripada nama tengah. Lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang lebih minat nulis daripada ngajar. Suka nonton drama Korea dan mendengarkan BTSpop 24/7. EditorElsa DewintaElsa Dewinta adalah seorang editor di Praktis Media. Wanita yang memiliki passion di dunia content writing ini merupakan lulusan Universitas Sebelas Maret jurusan Public Relations. Baginya, menulis bukanlah bakat, seseorang bisa menjadi penulis hebat karena terbiasa dan mau belajar.
.